Awan mendung bergelayut di langit Jogjakarta
Secangkir kopiku pekat, pahit
Tibalah hujan dengan bala tentaranya
Rundung jiwa-jiwa perindu damai
Tutupi kemilau dan pendar cahaya
Sore menjelang
Kabut pun berpulang
Aku berkabung untuk Indonesiaku yang malang
Rapuh menyerang hingga ke tulang belulang
Thursday 26 November 2015
Tuesday 27 October 2015
Silent
Sedini ini aku menanti, berdiri.
Ketika ia hanya tiba di saat butuh dan mendekat di kala
jiwanya telah lelah
Memintaku tuk atasi segala masalah dan kepenatan hidupnya
Seolah jiwa, raga dan pikiran terkomersil
Aku bukan malaikat
Ketika hening dan sepi mengiringi
Dia tak pernah hadir tuk sapaku
Tapi ku pun tak pernah meminta
Ketika ku bertanya pada Tuhan tentang ketulusan
Aku sangsi dan bisu
Biarkan aku terdampar dikebekuan ilusi yang ku ciptakan
sendiri
Ingin tak ku teriakkan segala sesal dan letih ini
Hingga air mata menuntunku tuk lebih memaknai keikhlasan dan
ketulusan
Jangan ajariku tentang kepercayaan
Tentang apa itu ketulusan apalagi cinta
Biarkan segalanya mengalir laksana embun luruh dari dedaunan
di pagi buta
Hingga jingga benar-benar tiba
Membuat tetesan-tetesan pun perlahan hilang tanpa
menyakitinya
Lalu cercah mentari tiba hangatkan segala
Kita hidup seperti apa yang kita pilih
Tetaplah di sisi
Temani
Time when we 1st met
KAU DAN SEIKAT PUISIKU
Berharap hari ini bumi Yogyakarta akan
diguyur hujan. Aku ingin sekali memandangi rintik-rintiknya di balik jendela
kamar sambil menikmati secangkir kopi hitam kesukaanku. Apalagi bau tanah dan
dedaunan basah itu, yang menyeruak ke permukaan tepat ke hidung kala jendela
terbuka. Aku mencintai hujan dan jejak yang ditinggalkannya. Seperti sore itu,
kala aku dan dia berjalan di sepanjang jalan Malioboro. Ah, terlalu pilu jika
kenangan itu harus ku ingat sendiri.
Kami menjalani LDR (Long Distance Relationship) atau
hubungan jarak jauh. Dia harus ke Jerman untuk menyelesaikan kuliah S-2.
Seperti impian yang pernah ia bilang, “aku ingin ke Jerman, menjadi bagian dari
ahli permesinan terbaik di dunia”. Meski aku selalu percaya jarak dan waktu ini
pasti akan berakhir tapi rasanya rindu yang teramat dalam ini akan meledak.
Setiap kali akau merengek di ujung telpon, dia selalu sabar mendengarkan keluh
dan protesku, dia selalu bisa membuatku jatuh cinta lagi dan lagi, juga
membuatku sanggup menunggu lagi dan lagi.
Embun pagi ini menyentak lamunan panjangku
Mengetuk pintu rinduku akan kehadirannya
Aku merindukannya dalam imajiku
Mencoba mengeja tawa bersamanya, mencoba merajut indahnya hari-hari tanpanya
Tapi waktu telah meyakinkanku
Bahwa separuh nafasku adalah miliknya
Tuhan. .
Hukum aku dengan perasaan ini
Muncul untuk kesekian kali ke permukaan
Aku merindukanmu kini dan esok
Entahlah
Embun membawaku bermimpi
Tentang syahdunya melodi hariku tanpamu
Di sini, dalam cawan kosong di hati yang belum juga kau isi
Mengetuk pintu rinduku akan kehadirannya
Aku merindukannya dalam imajiku
Mencoba mengeja tawa bersamanya, mencoba merajut indahnya hari-hari tanpanya
Tapi waktu telah meyakinkanku
Bahwa separuh nafasku adalah miliknya
Tuhan. .
Hukum aku dengan perasaan ini
Muncul untuk kesekian kali ke permukaan
Aku merindukanmu kini dan esok
Entahlah
Embun membawaku bermimpi
Tentang syahdunya melodi hariku tanpamu
Di sini, dalam cawan kosong di hati yang belum juga kau isi
Tiba di akhir
bulan Juni, aku menjalani pengabdian masyarakat di dusun Clapar 1 desa
Hargowilis Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bersama sembilan teman, aku berjuang selama 2 bulan. Banyak hal tertoreh di
sini. Suka duka, pengalaman dan kenangan tercipta. Tak ada cinta lokasi, meski
beberapa kali teman lelaki terang-terangan mengajak berkencan.
Puncak
Dipowono Canting Mas. Sore itu matahari tersembunyi di balik tebalnya kabut
yang telah jatuh menyelimuti perbukitan. Langit birunya tersapu kelabu. Tak
kuasa air mataku jatuh. Rasanya seperti mata dan hatiku ingin mencair.
Seperti
kabut yang meleleh di kaki bukit, di antara bayang-bayang senja.
Pada jingga senja, kita kerap melabuhkan ingin sejauh angin membawa angan, hingga ucap-ucap do’a memeluk Tuhan sebelum malam.
Untukku, senja adalah obat penawar duka, yang disematkan Tuhan untuk obati rinduku padamu.
Pada jingga senja, kita kerap melabuhkan ingin sejauh angin membawa angan, hingga ucap-ucap do’a memeluk Tuhan sebelum malam.
Untukku, senja adalah obat penawar duka, yang disematkan Tuhan untuk obati rinduku padamu.
Selamat sore, sayang. Salamku dari puncak dipowono.
Sejenak aku
terdiam. Angin mengayunkan ujung jilbabku perlahan. Sepoinya membelai lembut
pipi dan menyeka air mata yang luruh itu. Hubungan jarak jauh ini memang telah
mengajariku tentang betapa berharganya sebuah kebersamaan. Terimakasih karena
telah memberi begitu banyak. Cinta, tawa, ilmu pengetahuan, pengertian,
perhatian, kepemimpinan, harapan, waktu, uang, nasihat dan kehidupan. Dia adalah
senandung terindah yang begitu ku rindu dengar, dia adalah kata yang ingin selalu
ku eja dalam setiap bait do’a dan puisiku.
Malam sebelum
kami harus kembali ke kehidupan kampus. Kami memutuskan ngecamp di sebuah pantai di daerah Wonosari Gunungkidul. Pantai Sakora,
begitu masyarakat lokal menamainya. Kami tiba di sana ketika hari beranjak
petang. Kami harus berjalan kaki sekitar 10 sampai 15 menit melewati bebetuan
kecil dan karang yang terjal.
Pantai yang
indah, bisikku. Pasir putih dan air laut biru kehijauan. Malam itu purnama.
Deburan ombak hanyutkan malam yang bercampur dengan rasa lelah. Aku berdiri di
kaki langit yang bermandikan cahaya rembulan. Ombak menjilati kaki telanjangku,
dan aku menyukai sensasi yang ditinggalkannya. Aku hanyut dalam pikiran dan
imajiku sendiri.
Ini masih tentang malam, yang selalu
memiliki iramanya sendiri, juga kabut yang jatuh itu.
Sungguh rinduku lebih ribut dari deburan
ombak memecah karang,
dan ketika duri sepi bertubi menancap, pada
langit malam ku labuhkan titah salam rinduku,
Berharap malam kan mendekap hangat dirinya
dengan izin-Nya.
Adalah waktumu dan waktuku yang
terbengkalai, berserak di ujung malam, malam yang pernah tenggelam di matamu,
dan mata itu tenggelam di dadaku.
Sebagai ingatan, juga kerinduan.
Dan
aku masih terus menulis puisi untuknya. Hari-hariku tak pernah sepi dari
merangkai kata. Di kamar, di ruang makan, di ruang tamu, perpustakaan, di halte
trans, bahkan ketika aku kembali menjelajahi tempat di mana kenangan bersamanya
tertinggal.
Pada
waktu, yang mengekangmu dalam ilusi
Saling
berjuang melawan sepi
Melawan
perasaan dan ego sendiri
Meski
jarak tiada bertepi
Kau
tetaplah sang penawan hati
Yang
selalu ku rindu di ujung sunyi
Teruntuk
belahan hati
Terimaksih
telah hadir dalam kehidupanku dan turut mewarnainya
Berharap
kau selalu sabar dan tegar di sana
Penuh Kerinduan
Rintik hujan akhirnya luruh, hujami
gersang bumi
Ingin tak ku habiskan malam bersama
keheningan, bersama kegamangan pekat malam
Lamat-lamat ku rindu embun dan aroma
tanah basah
Perlahan senja memudar ditelan arakan
awan
Di sini, tepat di kaki langit yang
lain, aku merindukanmu
Dan semoga langit kan sampaikan
rinduku di belahan bumi manapun setipa kali kau memandangnya
Tetaplah seperti ini
Jangan berganti
Tetap menjadi apa adanya dirimu
Lamongan, Maret 2014
Saat ku perkenalkan lagu “Dont say goodnight” by Hot Chelle Rae
Subscribe to:
Posts (Atom)